Komunikasi produktif..tak sekedar bicara

Materi pertama di kuliah Bunsay tentang komunikasi produktif. Saya setuju sekali kenapa materi ini diletakkan paling awal, karena memang itulah fondasinya. Banyak rumah tangga yang bermasalah hanya karena masalah miskomunikasi.

Komunikasi produktif ini meliputi 3 aspek, komunikasi terhadap diri sendiri, komunikasi dengan pasangan, dan komunikasi dengan anak. Komunikasi terhadap diri sendiri, ini yang sering tidak disadari sebetulnya. Komunikasi terhadap diri sendiri berupa pemilihan kata yang sering digunakan. Karena Sifat seseorang itu tercermin dari kata-katanya. Ketika kita selalu berpikir positif maka kata-kata yang keluar dari mulut kita juga kata-kata positif, demikian juga sebaliknya. Ganti kata “susah” menjadi “menarik”, “masalah” menjadi “tantangan”.

Dalam berkomunikasi dengan pasangan, pasti ada sudut pandang aku dan kamu karena Frame of Reference dan Frame of Experience yang berbeda. Namun tantangannya adalah bagaimana menyampaikan sudut pandang kita secara baik agar suami mengerti dan juga berusaha memahami sudut pandang suami serta tidak terkesan memaksakan sudut pandang salah satunya.

Komunikasi dengan anak menjadi tantangan tersendiri. Kebetulan sekali karena Oca sedang dalam masa belajar bicara dan sudah mulai bisa diajak komunikasi. Jadi saya memutuskan untuk fokus melatih cara komunikasi saya dengan anak. Berhubung terpisah jarak dengan suami jadi praktek komunikasi dengan pasangannya agak sulit. Ada 11 poin utama yang bisa dilatih dalam tantangan kali ini.

KomProd_Anak.jpg

Poin utama yang ingin saya latih sebetulnya adalah tentang mengendalikan emosi, berhubung ini yang sulit sekali bagi saya. Seringkali jika ada tingkah laku anak yang di luar keinginan saya, emosi jadi terpancing dan akibatnya intonasi suara pun jadi ikut naik, walaupun tidak sampai marah2. Setelahnya pasti ada rasa penyesalan. Jadi saya pikir jika kita bisa mengendalikan emosi, pasti poin intonasi dan suara yang ramah pun otomatis tercapai. Saya juga mencoba melatih beberapa poin yang lain seperti memberi pilihan , mengatakan yang diinginkan, dan jelas memberikan pujian/kritikan sesuai momen yang ada.

Tantangan terbesar adalah menjaga konsistensi. Di satu saat kita bisa mengendalikan emosi, di waktu lain emosi kita terpancing lagi. Di saat kita melatih anak untuk bisa memilih, ada kalanya berhasil ada kalanya tidak. Saat berhasil, senangnya bukan main, tapi saat gagal, saya bertanya2 apa yang salah ya? Ah..mungkin hanya butuh latihan lagi.

Tantangan lainnya adalah menyempatkan waktu untuk menulis dan melaporkan tantangan tiap harinya. Ada saja halangannya, sedang dinas lah, atau malamnya ketiduran lah. Saya akui selama 17 hari yang disediakan itu agak terseok-seok dalam menulis laporan, sehingga tidak bisa setor tiap hari. Ini baru tantangan pertama lho..masih ada 11 tantangan lainnya..

Di luar itu, saya merasa tantangan kali ini menjadi semacam alarm bagi saya untuk selalu aware ketika berkomunikasi dengan anak. Walaupun kadang-kadang alarmnya macet, tapi setidaknya saya tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan anak. Saya ingin anak saya bisa berkomunikasi dengan baik nantinya. Supaya itu terwujud, orangtuanya dulu yang harus berubah, betul?! ;D

IMG-20170622-WA0006

 

NHW#9 Bunda sebagai Agen Perubahan

Akhirnya MIP ini memasuki minggu terakhir, tidak terasa sudah dua bulan lebih kami mendapat ilmu tentang bagaimana menjadi ibu profesional. Apa setelah ini kami sudah bisa disebut Ibu Profesional? Tentu belum. Masih ada 4 tahapan ilmu lagi yang masing-masing lamanya 1 tahun, Bunda Sayang, Bunda Cekatan, Bunda Produktif, dan Bunda Shaleha.

Materi terakhir ini merupakan gambaran tentang Bunda Shaleha. Bagaimana seorang wanita bisa berperan juga menjadi agen perubahan di lingkungan tempat tinggalnya dengan memanfaatkan passion yang ia miliki. Kami dituntut untuk lebih peka dan berempati terhadap sekitar dan menemukan sebetulnya apa isu sosial yang ada di sekitar kita yang bisa kita bantu selesaikan dengan ilmu atau passion yang kita miliki.

Saya pribadi sangat concern tentang gizi anak, terutama ASI dan MPASI. Saya banyak mengobrol dengan rekan kerja di RS yang juga sama-sama memiliki anak, banyak dari mereka yang kesulitan dalam memberikan ASI ekslusif kepada buah hati mereka. Mereka sebagai perawat dan dokter yang juga sama-sama berkerja dalam shift mengaku merasa kesulitan dalam memompa ASI saat bekerja sehingga kebutuhan ASI di rumah saat ibu sedang bekerja tidak terpenuhi dan akhirnya anaknya harus dibantu tambahan susu formula. Saya sering sedih mendengarnya. Semenjak saya melahirkan, saya sudah bertekad untuk memberikan ASI ekslusif untuk anak saya. Tidak mudah memang, penuh tantangan menurut saya. Dimulai dari belajar pumping semenjak cuti, menabung ASI selama cuti, setelah mulai masuk kerja jadi ibu-ibu rempong karena selalu membawa-bawa tas extra berisi perlengkapan perang pumping ASI, break tiap 2 jam untuk pumping, stressnya kejar tayang (apalagi dulu anak sempat ditinggal untuk prajab 1 bulan), pengorbanan suami untuk antar jemput ASI selama prajab dulu, semua itu dilakukan demi tercapainya ASI ekslusif. Dan alhamdulillah berhasil, bahkan sampai 1 tahun. Sampai sekarang pun saya masih membawa perlengkapan perang pumping ketika bekerja, padahal anak saya sudah 18 bulan.

Banyak rekan-rekan saya yang mengeluh betapa sedikitnya ASI mereka atau sulitnya meluangkan waktu untuk memompa. Hal itu yang sebagian membuat mereka terhenti di tengah-tengah. Banyak yang seperti itu karena tidak tahu ilmunya. Saya berpikir, seandainya semua wanita tahu ilmu tentang manajemen ASI pada ibu bekerja, sebetulnya kami pasti bisa memberikan ASI ekslusif kepada anak-anak kita. Tapi sayangnya tidak semua tahu. Oleh karena itu, saya ingin sekali menjadi konselor Laktasi dan memberikan penyuluhan kepada rekan-rekan kerja pada khususnya, dan masyarakat umum pada umumnya untuk kembali menekankan pentingnya ASI ekslusif beserta bagaimana cara mengakali supaya anak kita tetap bisa mendapatkan ASI ekslusif sementara kita tetap bekerja. Dengan passion saya di public health yang mengharuskan untuk bisa public speaking memberikan penyuluhan di depan orang banyak, saya ingin berkontribusi kepada lingkungan saya dengan cara ini.

Ini baru salah satu isu sosial yang saya perhatikan, masih banyak isu sosial lain yang juga ingin saya bantu, tapi karena keterbatasan waktu dan tenaga, sementara yang saya bahas baru ini dulu. Jika dimasukkan ke dalam tabel, mungkin seperti ini jadinya:

social venture

NHW#8 Misi Hidup dan Produktivitas

Materi minggu ke-8 di MIP ini masih kelanjutan dari materi sebelumnya tentang pencarian misi hidup dan bagaimana caranya untuk menjadi seorang yang produktif. Setelah sebelumnya melakukan talent mapping dan membuat kuadran #sukadanbisa, sekarang giliran memilih satu dari sekian aktivitas yang masuk di kuadran suka dan bisa tersebut untuk dijadikan fokus hidup kita ke depan. Dari beberapa aktivitas yang saya tuliskan, saya memilih Public Speaking, lebih tepatnya edukasi tentang gizi anak.

  • Kita ingin menjadi apa (BE)

Saya ingin menjadi seorang edukator gizi anak

  • Kita ingin melakukan apa (DO)
    • Meneruskan sekolah S2 jurusan Gizi/kesehatan anak
    • Meneruskan sekolah Spesialis Gizi Kesehatan (SpGK)
    • Mengambil kursus menjadi Konselor Laktasi
    • Mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan gizi
    • Menulis buku/artikel tentang gizi anak
    • Bergabung dengan komunitas-komunitas sebidang (contoh:AIMI)
    • Melakukan penyuluhan ke berbagai tempat
  • Kita ingin memiliki apa (HAVE)
    • Klinik Gizi dan laktasi sendiri
    • Buku-buku yang berkaitan tentang gizi anak

Selanjutnya, kami diminta untuk membuat atau mengingat kembali tentang strategic plan yang sebetullnya sudah secara garis besar dibuat di beberapa NHW sebelumnya.

  • Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu kehidupan kita?

Saya ingin fokus mengelola klinik Gizi dan Laktasi dan meninggalkan pekerjaan saya yang sekarang, serta rutin menjadi pembicara di berbagai kesempatan.

  • Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu 5-10 tahun?

Saya ingin telah menyelesaikan S2 dan sekolah spesialis gizi kesehatan dan telah mendapatkan sertifikat sebagai konselor laktasi

  • Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu 1 tahun?

Membaca minimal 5 buku tentang gizi anak dan mengikuti pelatihan manajemen laktasi.

Sebagai penyemangat diri, saya kutip kata-kata berikut:

Mulailah dengan PERUBAHAN, karena pilihannya hanya satu BERUBAH atau KALAH.

Terutama bagi saya yang harus bisa melepaskan diri dari belenggu kemalasan.

 

NHW#7 Tahapan Menuju Bunda Produktif

Setelah di minggu-minggu sebelumnya kita diberi dasar tentang materi bunda sayang dan bunda cekatan, materi minggu ketujuh ini tentang bunda produktif. Di sini kita diminta untuk mencari passion kita dimana, apa aktivitas atau bidang yang bisa membuat mata kita berbinar-binar. Sebagai seorang ibu kita juga harus produktif, walaupun produktif di sini tidak selalu berkaitan dengan materi. Yang penting, apakah ada aktivitas amalan kita yang bisa meningkatkan kemuliaan hidup kita dan keluarga?

Menjadi seorang dokter sebetulnya bukan cita-cita saya dari kecil, keinginan itu muncul baru sejak SMA. Seiring dengan berjalannya waktu ketika kuliah kedokteran, saya mulai bisa memilah mana bidang yang saya sukai dan yang tidak. Saya mulai menyadari selama kuliah, sebetulnya saya tidak begitu tertarik di bidang klinis kedokteran, saya lebih tertarik ke bidang kesehatan masyarakat. Setiap kali ada kuliah Public Health, saya sangat antusias. Saya membayangkan nanti kedepannya saya ingin berkecimpung dalam bidang kesehatan masyarakat. Saya ingin mengajak lebih banyak masyarakat untuk bisa hidup sehat, bukan hanya sekedar mengobati penyakit. Karena bagi saya, bisa mengajak 1000 orang untuk bisa hidup sehat lebih membuat bahagia ketimbang menyembuhkan 1 orang dari sakitnya. Tapi Qodarullah, saya ditempatkan di rumah sakit yang notebene orientasinya adalah ke pelayanan yang bersifat kuratif, bukan promotif atau preventif. Apa daya, sekarang saya hanya bisa menjalani apa yang diamanahkan kepada saya dengan sebaik mungkin, sekalipun tidak membuat saya berbinar-binar.

NHW#7 kali ini menyuruh kita untuk talent mapping, cari potensi bakat kita ada dimana melalui situs Temu Bakat. Bukan kali pertama sebetulnya saya melakukan tes potensi diri. Sebelumnya saya juga pernah tes kepribadian dan kecerdasan di mypersonality.info.Hasilnya bisa dilihat di sini. Perbedaannya saya rasa di temubakat.com lebih mengarah ke bakat yang berhubungan langsung dengan profesi. Sementara di mypersonality.info lebih digali lagi jenis kepribadian kita dilihat dari sisi psikologinya. Hasil talent mapping saya di temubakat.com seperti ini:

temubakat

Sepertinya potensi kekuatan saya sebagai caretaker sesuai dengan pekerjaan saya sekarang. Walaupun potensi kekuatan yang lain tidak bisa terlalu diterapkan pada pekerjaan kali ini. Saya memang menaruh minat besar pada bidang pendidikan. Saya suka mengajar sebetulnya, atau jika harus disesuaikan dengan profesi sekarang, memberikan penyuluhan kesehatan. Karena saya di RS, kesempatan untuk mengedukasi ada, lebih bersifat personal, walaupun waktunya terbatas. Sementara saya menginginkan yang lebih dari itu, saya ingin suatu hari nanti bisa mengedukasi lebih banyak orang secara lebih terbuka. Oleh karena itu, di NHW sebelumnya, saya bercita-cita beberapa tahun ke depan saya ingin menjadi seorang promotor kesehatan. Jika dilihat dari strength cluster, sepertinya bakat saya seimbang ya..walaupun berdasarkan yang saya rasakan pribadi, saya merasa lebih menonjol di bidang Elementary dan Technical dan sangat lemah di bidang networking. Ini yang jadi salah satu kendala saya tidak bisa memulai menjadi seorang entrepreneur..hehe.

Sementara untuk kuadran bisa dan suka, baru ini saja yang kepikiran..hehe. Mungkin nantinya akan bertambah.

kuadran bisa dan suka

 

NHW#6 Belajar menjadi Manajer Keluarga Handal

Seperti yang saya duga sebelumnya, materi tentang ini pasti akan muncul. Salah satu materi yang paling saya takutkan, karena saya pribadi menyadari saya memiliki kekurangan yang sangat besar dalam bidang manajemen, baik itu manajemen waktu, diri, pekerjaan, atau yang lainnya. Saya tipikal orang spontan, jarang membuat perencanaan dalam hidup. Sebetulnya saya adalah seorang dreamer, yang punya banyak mimpi dan keinginan. Banyak pencapaian yang ingin saya raih, bukan melulu soal materi sebenarnya. Tapi ya..itu baru sebatas angan-anganĀ  dan belum dibuat step by step menuju ke sananya. Baru di IIP ini saya merasa “dipaksa” untuk menjadi terorganisir dengan membuat perencanaan-perencanaan tertulis. Saya kagum pada orang-orang yang selalu membuat to do list dan secara konsisten menjalaninya. Saya tidak pernah berhasil melakukan itu. Sepertinya buku catatan/agenda bukan teman baik saya..hehe. Saya merasa itu terlalu menyusahkan dan akhirnya menjadi tidak fleksibel. Ditambah lagi dengan sulitnya menjaga konsistensi. Bukan artinya saya sama sekali tidak memiliki rencana dalam menjalani aktivitas sehari-hari sebetulnya, hanya saja biasanya saya lebih nyaman untuk menggambarkan to do list di dalam kepala saja, tidak dituliskan. Resikonya, suka banyak lupanya memang.

Di materi 6 ini kita diingatkan kembali bahwa ibu berperan sebagai manajer keluarga. Baik ibu yang bekerja di ranah domestik maupun publik, peran sebagai manajer rumah tangga tetap dipegang oleh kita. Oleh karena itu, kita harus tau ilmunya, pandai menentukan prioritas, mana yang bisa dikerjakan oleh kita, mana yang bisa didelegasikan. Selama 2 tahun lebih saya menikah, saya belum sepenuhnya bisa merasakan dan menjalankan peran sebagai manajer keluarga. Karena saya dan suami masih tinggal di rumah orangtua, banyak peran seorang manajer yang masih dipegang oleh ibu saya. Tugas-tugas rumah tangga pun sudah didelegasikan ke ART. Ditambah lagi sekarang sedang LDM-an dengan suami, walhasil sebetulnya tugas utama saya ya mengasuh anak, walaupun tidak bisa full time.

Agak sulit sebetulnya bagi saya untuk membuat dan menjalankan aktivitas rutin karena jadwal saya sebagai dokter yang bekerja mengikuti shift tidak selalu teratur. Tapi jika ditanya mana aktivitas yang penting dan tidak penting bagi saya, maka bagi saya:

Aktivitas penting:

  1. Bermain bersama anak. Ini selalu saya sempatkan setiap harinya, tergantung jadwal shift-nya. Jika shift pagi, saya sempatkan sore sampai menemani anak tidur. Jika shift sore maka kegiatan bermain bersama di pagi hari sebelum berangkat. Jika shift malam saya punya waktu seharian untuk bermain bersama anak.
  2. Bekerja di RS. Saya masih memasukkan ini ke dalam aktivitas yang dianggap penting karena saya masih belum bisa meninggalkan pekerjaan saya dengan pertimbangan kewajiban untuk mengamalkan ilmu dan kebutuhan keluarga.
  3. Memasak. Setidaknya untuk anak. Sesibuk apapun saya, saya berusaha untuk selalu memastikan bahwa asupan gizi anak saya terpenuhi oleh tangan saya sendiri. Waktunya kadang di pagi hari atau malam hari setelah pulang dari RS.

Aktivitas tidak penting:

  1. Main Sosmed. Awalnya seringkali hanya untuk refreshing sejenak, tapi malah seringkali keterusan. Aktivitas tidak penting no.1 ini memang masih sulit untuk ditinggalkan sepenuhnya
  2. Mencuci, menyetrika, beberes rumah. Berhubung saya dan ibu saya masih bekerja, jadi otomatis pekerjaan rumah ini kami delegasikan ke ART yang sekaligus berfungsi sebagai pengasuh anak juga.

Aktivitas tidak penting saya dirangkum jadi 2 saja, karena anak dari aktivitas no.2 kan sebetulnya banyak. Jika ditanya sehari-hari, waktunya lebih banyak dihabiskan untuk aktivitas yang mana, sepertinya bekerja masih lebih dominan, walaupun saya berusaha menyeimbangkannya dengan memperbanyak waktu dengan anak.

Agak sulit untuk “mengandangkan” aktivitas rutin dan membuat jadwal harian, karena seperti yang saya bilang sebelumnya, jadwal saya tidak sama setiap harinya. Secara garis besar, jadwalnya mungkin seperti ini:

Jika dinas pagi: berangkat dari rumah jam 6.30 -> Kerja di rumah sakit sampai jam 14.30 -> Sampai rumah jam 16.00 -> Mandi,dsb, baru bisa bersama anak jam 16.30-> seterusnya sampai anak tidur jam 20.00 -> bikin makanan untuk esok hari

Jika dinas sore -> dari anak bangun sampai jam 12.00 saya yang pegang (disempatkan bikin makanan kalau anak tidur) -> siap-siap berangkat-> kerja sampai jam 21.30 -> sampai rumah jam 22.00 -> istirahat

Jika dinas malam -> polanya mirip sama dinas sore dengan waktu yang lebih panjang.

Ini sebetulnya salah satu kesulitan saya untuk berubah menjadi lebih terorganisir. Karena jadwal kerja saya yang tidak menentu, terpaksa saya yang harus menyesuaikan.