Komunikasi produktif..tak sekedar bicara

Materi pertama di kuliah Bunsay tentang komunikasi produktif. Saya setuju sekali kenapa materi ini diletakkan paling awal, karena memang itulah fondasinya. Banyak rumah tangga yang bermasalah hanya karena masalah miskomunikasi.

Komunikasi produktif ini meliputi 3 aspek, komunikasi terhadap diri sendiri, komunikasi dengan pasangan, dan komunikasi dengan anak. Komunikasi terhadap diri sendiri, ini yang sering tidak disadari sebetulnya. Komunikasi terhadap diri sendiri berupa pemilihan kata yang sering digunakan. Karena Sifat seseorang itu tercermin dari kata-katanya. Ketika kita selalu berpikir positif maka kata-kata yang keluar dari mulut kita juga kata-kata positif, demikian juga sebaliknya. Ganti kata “susah” menjadi “menarik”, “masalah” menjadi “tantangan”.

Dalam berkomunikasi dengan pasangan, pasti ada sudut pandang aku dan kamu karena Frame of Reference dan Frame of Experience yang berbeda. Namun tantangannya adalah bagaimana menyampaikan sudut pandang kita secara baik agar suami mengerti dan juga berusaha memahami sudut pandang suami serta tidak terkesan memaksakan sudut pandang salah satunya.

Komunikasi dengan anak menjadi tantangan tersendiri. Kebetulan sekali karena Oca sedang dalam masa belajar bicara dan sudah mulai bisa diajak komunikasi. Jadi saya memutuskan untuk fokus melatih cara komunikasi saya dengan anak. Berhubung terpisah jarak dengan suami jadi praktek komunikasi dengan pasangannya agak sulit. Ada 11 poin utama yang bisa dilatih dalam tantangan kali ini.

KomProd_Anak.jpg

Poin utama yang ingin saya latih sebetulnya adalah tentang mengendalikan emosi, berhubung ini yang sulit sekali bagi saya. Seringkali jika ada tingkah laku anak yang di luar keinginan saya, emosi jadi terpancing dan akibatnya intonasi suara pun jadi ikut naik, walaupun tidak sampai marah2. Setelahnya pasti ada rasa penyesalan. Jadi saya pikir jika kita bisa mengendalikan emosi, pasti poin intonasi dan suara yang ramah pun otomatis tercapai. Saya juga mencoba melatih beberapa poin yang lain seperti memberi pilihan , mengatakan yang diinginkan, dan jelas memberikan pujian/kritikan sesuai momen yang ada.

Tantangan terbesar adalah menjaga konsistensi. Di satu saat kita bisa mengendalikan emosi, di waktu lain emosi kita terpancing lagi. Di saat kita melatih anak untuk bisa memilih, ada kalanya berhasil ada kalanya tidak. Saat berhasil, senangnya bukan main, tapi saat gagal, saya bertanya2 apa yang salah ya? Ah..mungkin hanya butuh latihan lagi.

Tantangan lainnya adalah menyempatkan waktu untuk menulis dan melaporkan tantangan tiap harinya. Ada saja halangannya, sedang dinas lah, atau malamnya ketiduran lah. Saya akui selama 17 hari yang disediakan itu agak terseok-seok dalam menulis laporan, sehingga tidak bisa setor tiap hari. Ini baru tantangan pertama lho..masih ada 11 tantangan lainnya..

Di luar itu, saya merasa tantangan kali ini menjadi semacam alarm bagi saya untuk selalu aware ketika berkomunikasi dengan anak. Walaupun kadang-kadang alarmnya macet, tapi setidaknya saya tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan anak. Saya ingin anak saya bisa berkomunikasi dengan baik nantinya. Supaya itu terwujud, orangtuanya dulu yang harus berubah, betul?! ;D

IMG-20170622-WA0006

 

It’s all due to those amazing books (part 1)

Ada orang yang bilang, akan jadi seperti apa seseorang 5 tahun yang akan datang tergantung pada siapa saja orang-orang yang ada di sekitarnya dan buku-buku apa saja yang dibacanya dalam kurun waktu 5 tahun tersebut. Kata-kata ini aku dengar sudah sejak lama, mungkin ketika SMA? Ah, aku sendiri sudah lupa dari mana dan kapan aku mendengarnya. Yang jelas, aku baru menyadari dan merasakan sendiri kebenaran kata-kata itu setahun belakangan ini. Namun bagiku, yang seorang introvert, buku-buku yang kubaca mempengaruhiku lebih dari apapun.

Pada 2-3 tahun pertama aku menjalani pendidikan sarjana tak banyak buku yang kubaca. Entahlah, hanya saja aku merasa saat-saat itu buku yang menarik perhatianku terbatas, sekalipun ada yang akhirnya kubeli, itu pun tak tuntas kubaca. Seingatku, aku mulai rajin hunting buku justru sejak memasuki tahun terakhirku di pendidikan sarjana, saat-saat dimana orang-orang sibuk dengan tugas akhirnya. Sejak saat-saat tersebut, buku-buku yang menarik perhatianku datang beruntun, sampai-sampai aku harus membuat list buku yang akan kubaca berikutnya (berhubung tak mungkin aku membeli semuanya sekaligus..hehe). Kebiasaan hunting buku pun berlanjut saat aku memasuki bangku pendidikan profesiku, terus begitu sampai sekarang.

Karena buku-buku itu, sekarang aku jadi kerepotan sendiri menyusun rencana hidupku di masa depan, berhubung banyak sekali yang ingin aku kerjakan, semua itu gara-gara buku yang kubaca. Di sini aku hanya akan  menceritakan beberapa buku yang paling mempengaruhiku. Buku-buku ini telah membuka wawasanku tentang beberapa hal penting, sangat penting bahkan, khususnya tentang pendidikan.

Bermula dari buku Three Cups of Tea karangan Greg Mortenson. Darimana ya, awal mulanya aku tahu buku ini? Dasar aku pelupa, entah karena rekomendasi seseorang, atau aku kebetulan menemukannya begitu saja di sebuah toko buku di dekat kampusku, lalu aku tertarik setelah membaca sinopsisnya di belakang. Buku ini menceritakan pengalaman sang penulis sendiri, Greg Mortenson, seorang pendaki gunung asal Amerika yang terdampar di pemukiman penduduk sebuah desa amat sangat terpencil di Pakistan Utara setelah gagal mendaki puncak Himalaya. Apa bisa dikata, takdir justru menuntunnya menjadi seorang agen pembawa perubahan bagi penduduk setempat dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak setempat, terutama perempuan, yang sangat membutuhkan pendidikan. Bermula dari hanya satu sekolah di satu desa nan terpencil, ia berjuang mencari dana kesana kemari, merangkul penduduk setempat untuk bisa menerima keberadaannya dan maksud baiknya untuk memberikan hak pendidikan yang sama bagi laki-laki maupun perempuan, satu hal yang amat sulit diterima oleh adat istiadat penduduk daerah sana. Melalui pendekatan “Three Cups of Tea”, ia menjelajahi desa demi desa di pelosok Himalaya meyakinkan penguasa desa setempat dan meminta izin mendirikan sekolah bagi anak-anak mereka. Berbagai penolakan kerap datang, namun itu tak menyurutkan niatnya untuk tetap memperjuangkan hak anak-anak, terutama yang perempuan memperoleh pendidikan. Ia memiliki keyakinan bahwa jika ia mendidik seorang perempuan, maka itu sama saja dengan mendidik sebuah komunitas.

Perjuangan Greg Mortenson berlanjut di buku keduanya, yaitu Stone into Schools. Di sini, ia memperluas sasaran daerah yang akan dibangun sekolah olehnya sampai ke Afganistan, sarang para Taliban. Teror dan ancaman yang mewarnai hari-harinya tak juga menyurutkan langkahnya untuk tetap memperjuangkan hak pendidikan anak-anak di sana yang terampas oleh keberadaan Taliban. Semua ini ia lakukan bukan tanpa pengorbanan. Ia harus rela meninggalkan istri dan anak-anaknya di Amerika sana demi memperjuangkan berdirinya sekolah-sekolah itu. Ia harus merelakan tidak menyaksikan perkembangan anak-anaknya sendiri demi hak anak orang lain. Tentu saja semua itu tidak sia-sia. Berkat perjuangannya, kini telah berdiri ratusan (atau mungkin malah ribuan sekarang?) sekolah di berbagai penjuru Pakistan dan Afganistan.

Kedua buku itu menyadarkankanku mengenai pentingnya pendidikan. Keduanya seakan menantangku dan berbicara. “Hey, apa yang sudah kau lakukan untuk mereka?”. Aku ingin sekali bisa seperti Greg Mortenson, mendidik sebuah komunitas. Bermula dari ruang lingkup yang kecil, lantas kemudian merambah bagaikan jamur di musim penghujan. Sekalipun belum dapat terwujud, setidaknya pesan kedua buku ini telah menancap kuat dalam diriku, menunggu untuk dilaksanakan. Satu tekad yang tak pernah ada sebelum aku membaca buku ini, kini muncul.

Selain itu, buku-buku apa lagi yang sangat mempengaruhiku? Tunggu kelanjutannya 😀

Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela

Buku ini termasuk ke dalam daftar panjang buku yang ingin sekali kubaca sejak lama. Pertama kali aku direkomendasikan oleh seorang teman waktu SMA. Katanya buku ini bagus banget, sangat inspiratif. Waktu itu aku memang tertarik, tapi tidak begitu penasaran, makanya aku hanya memasukannya ke dalam list buku yang harus dibaca. Baru belakangan ini setelah melihat judul ke-2nya, yaitu cerita ketika Totto-chan sudah dewasa, aku mulai berniat untuk membaca jilid pertamanya.

Hanya dengan melihat sinopsis yang ada di balik bukunya saja, aku sangat excited. Kesan pertamaku…”Wow..so extraordinary!!”. Siapapun, terutama bagi pemerhati pendidikan, pasti akan langsung tertarik dan penasaran. Rasa penasaran itu, dijamin akan sedikit demi sedikit terpuaskan seiring lembar demi lembar halaman yang dibaca.

Isi cerita buku ini seluruhnya diambil dari pengalaman masa kecil seorang anak bernama Totto-chan, yang merupakan nama kecil sang pengarang, Tetsuko Kuroyanagi, ketika bersekolah di Tomoe Gakuen. Totto-chan yang awalnya dikeluarkan dari sekolah lamanya karena sikapnya yang “tidak biasa”, akhirnya didaftarkan ke sekolah ini oleh ibunya. Sebuah sekolah luar biasa yang memiliki sistem pengajaran yang sangat tidak biasa. Tidak ada seragam, jadwal pelajaran yang membosankan, atau PR yang bertumpuk-tumpuk. Pertama kali saja kita sudah dikagetkan bahwa mereka menggunakan gerbong kereta api yang sudah tidak terpakai menjadi ruangan kelas. Ditambah lagi setiap anak bebas memilih untuk mendahulukan pelajaran mana yang akan mereka pelajari. Di Tomoe Gakuen, anak-anak dididik untuk mengembangkan minat dan bakat sesuai dengan naluri alamiah mereka, tanpa ada pengekangan. Pada diri mereka ditanamkan nilai-nilai agar bisa menghargai diri sendiri dan orang lain. Sekalipun diberi kebebasan, tapi mereka juga diajarkan untuk bisa bertanggungjawab atas konsekuensi semua tindakan yang mereka lakukan, dan yang paling penting dari pelajaran itu, mereka mengetahui alasan mereka boleh atau tidak melakukan sesuatu, tidak hanya berupa doktrin semata. Semua konsep pengajaran yang tidak biasa ini berasal dari seorang pencinta anak-anak, pendidik sejati, dan manusia berkepribadian luar biasa bernama Sosaku Kobayashi. Ya, dialah sang kepala sekolah yang juga merupakan pendiri Tomoe Gakuen.

Dari sejak awal, buku ini sudah sengaja didedikasikan untuk mengenang jasa-jasa beliau. Terbitnya buku ini menunjukkan besarnya kecintaan Tetsuko kepada sang Kepala Sekolah. Tak hanya Tetsuko, setiap orang yang membaca buku ini pasti akan jatuh cinta pada kelembutan, kecerdasan, dan kerendahan hati Mr. Kobayashi. Beliau yang sangat mengenal betul sifat anak-anak, menerapkan sistem pengajaran sesuai dengan kebutuhan dan naluri alamiah anak-anak itu. Beliau bisa dengan sangat apik menyeimbangkan pemberian ilmu pengetahuan dengan kebutuhan anak-anak akan bermain. Makanya tidak heran, di buku itu sering sekali diceritakan masa-masa ketika mereka berkemah bersama, jalan-jalan bersama, masak-masak bersama, dll. Beliau berhasil menumbuhkan kecintaan anak-anak didiknya untuk bersekolah, bukan dengan paksaan. Beliau menjadikan setiap event yang terjadi di Tomoe Gakuen menjadi event-event yang tidak akan pernah dilupakan oleh setiap orang yang terlibat di dalamnya. Semakin jauh membaca, kekaguman akan Mr. Kobayashi pun akan terus bertambah. Kita akan dibuat terpana bahwa hanya dengan kata-kata “Kau itu anak yang benar-benar baik, kau tahu itu, kan?” yang selalu dikatakannya kepada Totto-chan akan memberikan dampak yang luar biasa positif kepada Totto-chan sampai ia dewasa.

Satu hal yang disayangkan adalah karena setting cerita ini terjadi ketika PD II sedang berkecamuk dimana-mana, tak terkecuali di Jepang. Dan hal inilah yang memporak-porandakan semua canda dan tawa anak-anak Tomoe Gakuen.

Dari kisah ini, kita dikenalkan pada dunia anak-anak lewat sudut pandang Totto-chan. Kita menjadi banyak mengerti apa yang sebenarnya yang mereka pikirkan, yang mereka inginkan, dan bagaimana ucapan dari orang-orang dewasa di sekitarnya memberikan efek yang cukup hebat pada sikap dan mentalitas anak sekarang dan di kemudian hari. Kita dipaksa untuk membuka mata lebar-lebar tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan anak-anak. Mereka adalah jiwa-jiwa polos yang sangat bergantung pada lingkungan untuk membentuk watak mereka di kemudian hari. Keluarga, sebagai lingkungan primer anak memegang peranan penting. Di sini, orang tua Totto-chan berperan dalam memberikan contoh yang sangat baik untuk keluarga-keluarga lain di luar sana. Mereka membuktikan bahwa seorang anak memerlukan kasih sayang, cinta, dan pengertian keluarganya untuk bisa tumbuh sehat secara mentalitas. Kemarahan dan teriakan-teriakan justru hanya akan mejatuhkan mentalitas anak yang akhirnya akan membuat mereka menjadi tidak percaya diri.

Bagiku pribadi, buku ini merupakan revolusi di bidang pendidikan. Sudah saatnya kita berpikir out of the box dan tidak terkekang metode konvensional yang selama ini ada. Bukan berarti metode yang diajarkan di sekolah-sekolah yang ada saat ini sepenuhnya salah. Hanya saja, menurutku, ada aspek yang kurang mereka perhatikan, yaitu sifat dasar dan keterbutuhan anak-anak itu sendiri. Entah, tapi aku merasa belajar di sekolah itu bagaikan formalitas belaka, tanpa bisa memahami esensi belajar itu sendiri. Karena kurang memahami esensi belajar, maka tidak akan pernah tumbuh rasa kecintaan kita terhadap ilmu. Maka wajar, jika banyak yang menganggap belajar itu merupakan pekerjaan yang melelahkan dan menyusahkan.

Yang jelas, buku ini membuatku memiliki mimpi baru, yaitu membuat sekolah seperti Tomoe Gakuen. Aku sangat menyenangi dunia anak-anak dan pendidikan. Dan aku berharap suatu saat nanti aku bisa melakukan sesuatu untuk keduanya.

Terharu, kagum, sedih, tawa…itu yang aku rasakan ketika membaca buku ini, walaupun lebih banyak terharunya….buku yang sangat inspiratif, wajib dibaca oleh siapa saja, terutama orang-orang yang menghendaki adanya perubahan sistem pendidikan..!!

 

Tha Man in the Iron Mask

Aku sudah menonton film ini 2 kali. Tapi film ini tetap menarik sekalipun telah ditonton berkali-kali. Satu hal yang kusuka dari film ini, sebuah fakta sejarah yang mengejutkan. Sebenarnya, aku sendiri kurang tau bagian mana di film ini yang benar-benar fakta dan mana yang hanya rekaan semata. Memang, di awal cerita, dibilang juga sih kalau ada bagian yang hanya legenda tapi sebagian besar isi film ini adalah fakta.

Film yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio ini diproduksi tahun 1998. Singkatnya, film ini bercerita tentang Raja Louis XIV dari Perancis yang ternyata diketahui memiliki seorang saudara kembar. Hanya sedikit sekali orang yang mengetahui hal ini. Menariknya, sifat keduanya sangatlah bertolak belakang. Louis, adalah seorang raja yang angkuh, hanya mementingkan diri sendiri dan memerintah dengan semena-mena. Sedangkan Philippe, bayangkan saja semua sifat yang berkebalikan dari itu semua. Dengan bantuan The Musketeers (Aramis, Athos, Porthos, dan D’Artagnan), sang raja angkuh itu berhasil digantikan oleh saudara kembarnya, Philippe, yang tentu saja karena tidak banyak orang yang menyadari adanya pergantian raja ini, Philippe tetap menggunakan nama saudaranya, Louis XIV sampai ia meniggal. Dan dalam kepemimpinannya, Perancis berada dalam masa kejayaannya.

Lalu apa maksudnya the man in the iron mask? Lelaki di balik topeng besi, itulah Philippe selama hidupnya sebelum ditemukan oleh Aramis, Athos, dan Porthos. Ia dipaksa untuk masuk penjara Bastille dan menggunakan topeng besi supaya tidak ada orang yang menyadari bahwa sang raja memiliki saudara kembar.

Sedikit tentang Louis XIV (1638-1715), dia mendapatkan titel raja semenjak usianya 5 tahun, dan menjadi raja yang berkuasa paling lama, yaitu 72 tahun. Dia juga dijuluki Sun King atau Raja Matahari dan Louis yang Agung (Louis le Grand, atau Le Grand Monarque).

Mengenai benar atau tidaknya cerita ini, tidak ada orang yang tau sampai sekarang. Karena ada sumber lain yang memasukkan beliau ke nomor tiga sebagai orang paling misterius. Menurut sumber itu, Man In The Iron Mask (Meninggal November 1973) adalah tahanan yang dikurung di sejumlah penjara di Perancis (termasuk penjara legendaris, Bastille) pada masa pemerintahan Raja Louis XIV. Identitas pria ini tidak pernah diketahui karena tidak ada yang pernah melihat wajahnya yang disembunyikan dalam sebuah topeng kulit berwarna coklat. Sekarang kita tahu, bahwa sejak jaman dahulu, orang suka membesar-besarkan cerita karena pada kisah-kisah yang beredar, diceritakan bahwa topeng tersebut terbuat dari baja yang menjadi awal nama julukan yang diberikan kepadanya.

Menurut surat yang diberikan kepada kepala Penjara di Pignerol (Bénigne Dauvergne de Saint-Mars) tempat pertama pria tersebut dipenjarakan, nama pria tersebut adalah Eustache Dauger. Dalam surat itu juga diinstruksikan agar disiapkan sebuah sel yang dilapisi dengan beberapa pintu (untuk mencegah orang dari luar mendengar suara dari dalam sel). Selain itu, juga dikatakan bahwa bila pria tersebut berbicara kepada orang lain selain untuk hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan pribadinya, dia akan dibunuh seketika.

Terlepas dari kebenaran cerita itu, aku ingin sedikit menyoroti pemainnya, Leonardo DiCaprio. Aku kagum pada aktor yang satu ini. Dalam setiap filmnya, pasti dia memerankan tokoh dengan watak yang jauh berbeda. Coba, lihat saja, mulai dari Titanic, Catch Me if You Can, The Aviator, Blood Diamond, The Beach, sampai film The Man in The Iron Mask ini. Aku memang belum menonton semua filmnya, tapi terlihat dia memang bisa memerankan semua tokoh itu dengan sangat baik. Apalagi di film The Man In the Iron Mask ini dia diharuskan untuk memerankan 2 tokoh yang kepribasiannya saling bertolakbelakang ini sekaligus. Well, dalam dunia akting, dia memang patut diacungi dua jempol.

Itu baru tentang Louis XIV saja yang kutau, masih banyak cerita sejarah lainnya yang menarik untuk diketahui. Huh, kenapa coba pas di SMA materi tentang Revolusi Perancis, Amerika, dan Inggris malah diilangin? Eh..malah diganti dengan materi-materi lain yang lebih ga penting dan tentunya lebih membosankan…

Sandiwara Langit

Begitulah judul yang tertera di cover depannya. Novel ini dibuat berdasarkan kisah nyata yang kembali diceritakan oleh orang lain. Ceritanya bermula dari seorang pemuda berusia 18 tahun yang mendatangi seorang ustadz untuk berkonsultasi tentang keinginannya untuk segera menikah lantaran ketidakmampuannya untuk menahan gejolak syahwatnya. Calon suda ada, namun masalahnya ada pada dirinya yang dinilai masih belum mapan secara finansial untuk berkeluarga. Benar saja, hal inilah yang menjadi ganjalan ketika dia melamar calonnya itu pada keluarganya. Walaupun begitu, pada akhirnya keluarga sang calon menerima lamaran pemuda itu dengan sebuah syarat yang cukup unik, yaitu bahwa jika dalam 10 tahun pernikahannya dia tidak mampu memberi istrinya sebuah kehidupan yang layak, maka ia harus menceraikan istrinya. Dan syarat ini harus diucapkan ketika akad nikah berlangsung.

Dari sinilah cerita sebenarnya dimulai. Di dalam novel ini kita dapat melihat perjuangan sepasang suami istri yang memulai biduk rumah tangga benar-benar dari titik nol. Hanya bermodalkan pemberian dari orangtua si pemuda yang tidak seberapa mereka memulai segalanya. Suka dan duka silih berganti menimpa pasangan ini. Namun, hebatnya, mereka tetap terus memegang teguh prinsip mereka yang selalu didasarkan pada Al-Quraan dan Sunnah. Dalam keseharian mereka, kata-kata yang terucap adalah firman-firman Allah dan sabda Rasul, hal ini dapat dilihat dari banyaknya cuplikan ayat-ayat Al-Quran yang tersebar di novel ini. Begitu seterusnya mereka menjalani kehidupan mereka, saling menyokong satu sama lain, hingga cinta di antara mereka pun tumbuh semakin dalam. Hingga pada akhirnya sebuah keputusan besar harus diambil. Dan cerita ini pun ditutup dengan sebuah ending yang sangat mengharukan.

Novel ini dapat membawa pembacanya ke dalam campuran emosi. Sedih, terharu, bahagia, sampai marah. Bukunya tidak terlalu tebal, hanya sekitar 100 halaman lebih, satu malam saja sudah cukup untuk menamatkan buku ini. Cara penyampaian penulis di dalam buku ini cukup enak, walaupun terasa tidak begitu mengalir kata-katanya. Mungkin karena ini memang buku yang agak serius, jadi kata-katanya terkesan sedikit kaku. Tapi overall, kita bisa mengambil begitu banyak hikmah dari kisah sepasang anak manusia tadi. Tidak akan rugi jika meluangkan waktu kita sebentar untuk membaca dan merenungi isi buku ini.

Jujur, novel ini merubah pandanganku tentang sebuah pernikahan. Ternyata, pernikahan tidak sesimple bayangan kita. Pernikahan bukan hanya tempat untuk saling mencurahkan kasih sayang satu sama lain, mendidik anak-anak, ataupun menghabiskan waktu susah senang bersama.

Bagi seorang suami, pernikahan berarti gerbang awal baginya untuk menjadi seorang pemimpin rumah tangga. Pemimpin, terdengar mudah, padahal esensinya sangat berat. Menjadi pemimpin berarti sudah harus memiliki arah akan dibawa kemana keluarganya nanti. Tentu saja pencapaian tertinggi semua orang adalah memasuki surgaNya yang kekal. Namun, jalan apa yang akan dipilih untuk meraihnya? kendaraan apa yang akan digunakan untuk menuju ke sana? Jika standar seorang pemimpin yang ideal adalah seperti pemuda di dalam novel ini, maka itu berarti standarnya terlalu tinggi dari yang aku bayangkan sebelumnya, dan masalahnya adalah aku pasti tidak bisa mengimbanginya.

Bagi seorang istri, sudah tentu pastinya harus selalu menemani dan mendukung suami kita dalam keadaan apapun. Mungkin sekarang, kita bisa saja berkata bahwa kita akan mampu menemani suami kita dalam keadaan apapun, termasuk keadaan paling sulit sekalipun, tapi pasti dalam prakteknya akan lebih sulit. Seorang istri mempunyai sebuah tugas yang cukup berat bagi dirinya sendiri, yaitu mencari ridho suaminya. Dan untuk mendapatkannya bukankah kita harus terlebih dahulu menjadi seorang istri yang sholihah? Tugas yang berat, tapi untuk mencapainya, bukan sebuah hal yang tidak mungkin.

Team work, sepertinya itu yang dibutuhkan…