Sekelumit tentang Perempuan

Ada sebuah tulisan menarik mengenai sebuah makhluk bernama perempuan..

Dia yang diambil dari tulang rusuk. Jika Tuhan mempersatukan dua orang yang berlawanan sifatnya, maka itu akan menjadi saling melengkapi. Dialah penolongmu yang sepadan, bukan sparing partner yang sepadan.

Ketika pertandingan dimulai, dia tidak berhadapan denganmu untuk melawanmu. Tetapi dia akan berada bersamamu untuk berjaga-jaga di belakang saat engkau berada di depan atau segera mengembalikan bola ketika bola itu melewatimu. Dialah yang akan menutupi kekuranganmu.

Dia ada untuk melengkapi yang tak ada dari laki-laki: perasaan, emosi, kelemah-lembutan, keluwesan, keindahan, kecantikan, rahim untuk melahirkan, mengurusi hal-hal sepele..?? Hingga ketika laki-laki tidak mengerti akan hal-hal itu, dialah yang akan menyelesaikan bagiannya…sehingga tanpa kau sadari ketika kau menjalankan sisa hidupmu…kau menjadi lebih kuat karena kehadirannya disisimu.

Jika ada makhluk yang sangat bertolakbelakang, kontras dengan lekaki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan.

Ia tidak butuh argumentasi hebat dari seorang laki-laki…tetapi ia butuh jaminan rasa aman darinya karena ia ada untuk dilindungi…tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosi.

Ia tidak tertarik kepada fakta-fakta yang akurat, bahasa yang teliti dan logis, yang biasa disampaikan secara detail dari seorang laki-laki. Tetapi yang ia butuhkan adalah perhatiannya…kata-kata yang lembut…ungkapan sayang yang sepele…namun baginya sangat berarti…membuatnya aman di dekatmu

Batu yang keras dapat terkikis habis oleh air yang luwes, sifat laki-laki yang keras ternetralisir oleh kelembutan perempuan. Rumput yang lembut tidak mudah tumbang oleh badai dibandingkan dengan pohon yang besar dan rindang…seperti juga di dalam kelembutannya di situlah terletak kekuatan dan ketahanan yang membuatnya bisa bertahan dalam dituasi apapun.

Ia lembut bukan untuk diinjak, rumput yang lembut akan dinaungi oleh pohon yang kokoh dan rindang. Jika lelaki berpikir tentang perasaan wanita, itu sepersekian detik dari hidupnya… tetapi jika perempuan berpikir tentang perasaan lelaki, itu akan menyita seluruh hidupnya…Karena perempuan adalah bagian dari lelaki…apa yang menjadi bagian dari hidupnya, akan menjadi bagian dari hidupmu. Keluarganya akan menjadi keluarga barumu, keluargamu pun akan menjadi keluarganya juga.

Sekalipun ia jauh dari keluarganya, namun ikatan emosi kepada keluarganya tetap ada karena ia lahir dan dibesarkan di sana…karena mereka, ia menjadi seperti sekarang ini, perasaannya terhadap keluarganya, akan menjadi bagian perasaanmu juga…karena kau dan dia adalah satu…dia adalah dirimu yang tidak ada sebelumnya. Ketika pertandingan dimulai, pastikan dia ada di bagian lapangan yang sama denganmu.

Satu kata untuk menggambarkan seorang perempuan: complicated…

Sebuah ketulusan

Ada sebuah pengalaman menarik yang kudapat pas nge-DaNus di PaUn 2 minggu yang lalu. Rencananya, aku akan “menjual” jasa tensi bareng nes3 yang juga bakal berjualan baju.

Kami berangkat jam 5.30 dari kostan. Sesampainya di PaUn, aku udah cemas duluan bakal ga dapet tempat. Dan ternyata benar…setelah ditelusuri, hampir setiap space udah ditempatin orang-orang yang juga sama-sama mau mengadu nasib, atau setidaknya udah di-take duluan.

Mungkin karena melihat kami yang kebingungan mencari tempat, seorang bapak penjual _sebut saja_ kayu ukir menegur kami, “Ade mahasiswa ya?hubungin dulu bapak -lupa namanya- pengurus PaUnnya, ntar bakal dicariin tempat.” Kami yang udah bingung jadi tambah bingung karena disuruh nyari orang yang entah seperti apa rupanya. Tapi,ujung-ujungnya sih kami ditunjukkan satu tempat kosong yang pantas saja kosong, becek gitu.

Oow…kami dilema. Pertama, karena kami hanya bawa kertas koran seadanya, yang pastinya akan meresap air kalo dijadiin alas. Kedua, karena males nyari tempat kosong lagi, yang kemungkinan emang udah ga tersisa. Dengan berat hati kami terima juga tempat seadanya itu.

Masih bingung gimana ngakalin si becek itu, ada bapak-bapak lain yang ikut nimbrung ngasih saran gimana bagusnya. Yasudah, kami putuskan untuk menggelar koran-korannya sampai beberapa lapis. Di tengah pekerjaan kami itu, bapakyang tadi ngasih saran datang kepada kami lagi dengan menyodorkan 2 lembar kayu mirip triplek lapi lebih tebal untuk kami. Kami kaget, padahal kami tidak meminta apa pun, tapi bapak ini dengan sukarela mau membantu kami. Waaaahh…baik banget ga sih..?

Tidak hanya sampai di situ aja, si bapak yang tadi kembali membawakan satu lembar karung beras tapi agak besar. Pinjam dari temannya yang juga jualan di sana, katanya. Itu aja ?? Belum selesai,,, karena setelah itu, beliau memberi kami lagi 2 lembar kain lebar bekas spanduk untuk dijadikan alas kami duduk. Subhanallah sekali ya?? Tanpa diminta, bapak itu berusaha mencarikan alas yang layak untuk kami duduk, lebih keras usahanya dibandingkan kami sendiri. Kami jadi malu. Padahal kami bukan siapa-siapanya beliau, bahkan mungkin bagi sebagian orang yang sempit pikirannya, kami bisa menjadi saingannya dalam berjualan.

Pada saat itu, dalam diri bapak itu, aku menemukan sebuah ketulusan tanpa syarat yang tidak bisa dideskripsikan melalui kata-kata. Aku tau, mungkin aku tidak bisa memberikan apa-apa atas semua kebaikan beliau. Yang bisa kulakukan hanya mendoakan beliau, semoga kebaikan beliau Allah balas dengan kebaikan yang jauh lebih besar lagi.

Dalam diri beliau pula, aku menemukan jati diri orang Indonesia asli. Ramah, membantu sesamanya tanpa pamrih. Sifat yang sudah jarang kutemui. Wajar, kalo dipikir-pikir, karena memang selama ini aku jarang bergaul dengan “masyarakat” yang sebenarnya.

Ketulusan kedua kudapat dari senyum-senyum yang terpancar dari setiap warga yang selesai ku-tensi. Satu hal lebih yang kudapat dari ‘pekerjaan’ ini selain dana adalah aku bisa benar-benar menyentuh lapisan masyarakat yang benar-benar menbutuhkan. Mendengarkan keluhan-keluhan mereka, membagi ilmu yang telah kita dapat sebelumnya, sampai mencoba merasakan bagaimana menjadi mereka. Sekalipun belum bisa memberikan solusi layaknya seorang dokter, setidaknya kita sudah belajar satu hal sebagai bekal menjadi dokter nantinya, yaitu mendengar.

Ujung Bernama Kematian

Ceritanya udah lumayan lama…sekitar 3-4 minggu yang lalu…
Hari Senin itu aku diminta pulang oleh orangtuaku, dengan alasan…ohhh tidak..buat beli sepatu besoknya. Tapi, akhirnya sih ga jadi besoknya, jadinya sore2 aku langsung dari kampus ke cibaduyut sendirian. Dan pulang ke rumah malem-malem, sendirian pula…di angkot yang penuh dengan laki-laki bertampang sangar. Serem sih…untung ga ada apa-apa.

Belum nyampe satu setengah jam di rumah, ada berita mengejutkan yang menghampiriku. Bapak masuk rumah, dan bilang ke aku dan ibuku yang waktu itu lagi nonton TV, “Kayaknya Pak —- meninggal deh..” kami berdua kaget sekali. Untukku kagetnya nambah karena selanjutnya Bapak bilang, “Kak, kamu bisa ngecek ga, udah meniggal atau belum, kamu bisa ngebedain nadi yang udah meninggal sama yang belum kan?”

Ngitung nadi orang yang masih hidup sih gampang, tapi, aku belum pernah ngecek orang meninggal sebelumnya. Dengan jantung berdegup kencang, aku berangkat ke rumahnya yang terletak di 2 rumah samping depan rumahku.

Di sana, aku benar-benar melihat sebuah drama kehidupan, dimana sebuah keluarga menangis ditinggalkan sang imam. Aku dan ayahku masuk ke kamarnya, dan aku langsung mengecek nadi radialisnya. Kupegang tangannya masih hangat, aku meraba cukup lama, tapi aku tetap tidak yakin. Aku merasakan di ujung ketiga jariku terasa ada denyutan. Tapi, karena jantungku sendiri berdegup kencang, jadi aku tidak tau berasal dari mana denyutan itu. Untuk memeriksa lebih jauh lagi di nadi carotis, aku sudah kehilangan keberanian, karena percuma saja memeriksa dalam keadaan deg-degan, karena akan terjadi blur seperti tadi.

Akhirnya, semua keputusan diserahkan pada dokter yang datang tak lama kemudian. Awalnya aku tidak mau ikut masuk melihat dokter memeriksa. Jujur aku tidak tega melihat sebersit harapan dari keluarganya ketika dokter tiba. Tapi, atas desakan ibuku, aku masuk juga.

Pertama, dokter memeriksa tekanan darahnya. Aku tidak dapat melihat hasilnya dengan jelas, tapi kuduga tidak ada getaran pada jarumnya yang biasanya terlihat jika terasa tekanan systole. Kemudian, dokter beralih memeriksa dada beliau yang sudah sangat kurus dimakan oleh penyakit yang telah beberapa lama ini menggerogoti tubuhnya dengan stetoskop. Pemeriksaan ini berlangsung cukup lama, mungkin ada 2 menit. Mungkin, dokternya tidak ingin gegabah memutuskan, karena ini berhubung dengan harapan sebuah keluarga. Terakhir, dokter meminta izin pada istrinya untuk membuka matanya. Istrinya mengizinkan dengan menambahkan, “..yang sebelah kanan saja, dok, soalnya yang kiri sudah tidak berfungsi..” memang, tumornya itu menyerang mata kirinya sehingga sudah lama menjadi tidak berfungsi. Dokter pun membuka matanya dan mengarahkan senter ke matanya. Setelah selesai, ayahku kembali bertanya, “gimana dok, udah ga ada..?”
Ketika dokter menggeleng, pecahlah lagi tangisan ibu dan anak yang sebelumnya reda karena melihat secuil harapan.

Alu sungguh-sungguh tidak tahan berada di dalam sana. Aku tidak tega. Dan pada saat itu, aku membayangkan bagaimana jika yang tergolek lemah itu adalah ayahku?

Istri dan anaknya pun dibawa keluar kamar untuk ditenangkan. Jujur, aku tidak bisa mengatakan apa-apa, I was totally speechless.

Lalu, bagaimana dengan nasib putri tertuanya yang kini sedang kuliah di Jakarta? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya ketika mendengar ayahnya telah tiada. Aku juga tidak bisa membayangkan ketika sedang belajar di sini, aku mendapat kabar yang sama.

Karena tidak tahan lagi, aku mengajak ibuku untuk pulang. Di rumah, aku merenungi semua yang terjadi tadi. Bagaimana nasib sebuah keluarga yang kini benar-benar ditinggal oleh tulang punggungnya? Bagaimana nasib anak-anaknya yang masih ingin mengecap pendidikan? Dan bagaimana jika itu semua terjadi pada keluaragku?

Aku tau, semua itu sama sekali tidak dapat diprediksi. Segalanya dapat hilang hanya dengan jentikan tangan Yang Maha Kuasa.

Aku tau, bahkan sedetik pertemuan bersama keluarga pun akan sangat berharga jika kita telah kehilangan mereka. Sekalipun aku tidak setiap saat bisa pulang ke rumah, setiap kali pulang, aku ingin benar-benar memanfaatkan setiap detik kebersamaanku bersama keluargaku, karena aku tidak ingin menyesal di akhir karena telah menyia-nyiakannya.

Sangat beruntung, orang yang bisa selalu dekat dengan keluarganya. Namun, dia akan menjadi sangat tidak beruntung, jika kesempatan itu tidak dimanfaatkannya untuk mempersembahkan yang terbaik dari yang bisa kita berikan kepada mereka.

Bagi teman-teman yang jarang bertemu keluarganya, jangan sedih, karena masih ada sesuatu yang bernama do’a yang dapat kita persembahkan untuk kedua orang tua kita.

Jadilah seperti…


Jadilah seperti mawar
yang karena keindahannya menjadi perlambang cinta
namun tetap bisa menjaga dirinya
karena ia akan melukai siapapun
yang mencoba memetiknya dengan seenaknya
    Jadilah seperti melati
    yang tidak iri dengan kemegahan mawar
    yang tetap bangga dengan kecilnya
    namun selalu memberikan keharuman
    sekalipun ia telah gugur

Jadilah seperti teratai
yang tetap teguh berdiri di atas air
yang dapat membelah arus tanpa ikut terseret olehnya
bahkan menjadi kehidupan bagi makhluk di bawahnya

    Jadilah seperti edelweis
    sang bunga abadi
    yang dicari dan dilindungi karena langkanya
    yang untuk meraihnya pun butuh perjuangan keras

Jadilah seperti kunang-kunang
sekalipun pendek umurnya
tapi dapat menjadi penerang di kala malam
menjadi pemandu jalan orang yang membutuhkan

    Janganlah puas hanya menjadi setangkai anggrek
    yang untuk bisa tumbuh indah
    harus menumpang hidup di pohon lain

alam telah memperlihatkan pada kita begitu banyak hal
lalu, apa keputusanmu...?