Sebuah ketulusan

Ada sebuah pengalaman menarik yang kudapat pas nge-DaNus di PaUn 2 minggu yang lalu. Rencananya, aku akan “menjual” jasa tensi bareng nes3 yang juga bakal berjualan baju.

Kami berangkat jam 5.30 dari kostan. Sesampainya di PaUn, aku udah cemas duluan bakal ga dapet tempat. Dan ternyata benar…setelah ditelusuri, hampir setiap space udah ditempatin orang-orang yang juga sama-sama mau mengadu nasib, atau setidaknya udah di-take duluan.

Mungkin karena melihat kami yang kebingungan mencari tempat, seorang bapak penjual _sebut saja_ kayu ukir menegur kami, “Ade mahasiswa ya?hubungin dulu bapak -lupa namanya- pengurus PaUnnya, ntar bakal dicariin tempat.” Kami yang udah bingung jadi tambah bingung karena disuruh nyari orang yang entah seperti apa rupanya. Tapi,ujung-ujungnya sih kami ditunjukkan satu tempat kosong yang pantas saja kosong, becek gitu.

Oow…kami dilema. Pertama, karena kami hanya bawa kertas koran seadanya, yang pastinya akan meresap air kalo dijadiin alas. Kedua, karena males nyari tempat kosong lagi, yang kemungkinan emang udah ga tersisa. Dengan berat hati kami terima juga tempat seadanya itu.

Masih bingung gimana ngakalin si becek itu, ada bapak-bapak lain yang ikut nimbrung ngasih saran gimana bagusnya. Yasudah, kami putuskan untuk menggelar koran-korannya sampai beberapa lapis. Di tengah pekerjaan kami itu, bapakyang tadi ngasih saran datang kepada kami lagi dengan menyodorkan 2 lembar kayu mirip triplek lapi lebih tebal untuk kami. Kami kaget, padahal kami tidak meminta apa pun, tapi bapak ini dengan sukarela mau membantu kami. Waaaahh…baik banget ga sih..?

Tidak hanya sampai di situ aja, si bapak yang tadi kembali membawakan satu lembar karung beras tapi agak besar. Pinjam dari temannya yang juga jualan di sana, katanya. Itu aja ?? Belum selesai,,, karena setelah itu, beliau memberi kami lagi 2 lembar kain lebar bekas spanduk untuk dijadikan alas kami duduk. Subhanallah sekali ya?? Tanpa diminta, bapak itu berusaha mencarikan alas yang layak untuk kami duduk, lebih keras usahanya dibandingkan kami sendiri. Kami jadi malu. Padahal kami bukan siapa-siapanya beliau, bahkan mungkin bagi sebagian orang yang sempit pikirannya, kami bisa menjadi saingannya dalam berjualan.

Pada saat itu, dalam diri bapak itu, aku menemukan sebuah ketulusan tanpa syarat yang tidak bisa dideskripsikan melalui kata-kata. Aku tau, mungkin aku tidak bisa memberikan apa-apa atas semua kebaikan beliau. Yang bisa kulakukan hanya mendoakan beliau, semoga kebaikan beliau Allah balas dengan kebaikan yang jauh lebih besar lagi.

Dalam diri beliau pula, aku menemukan jati diri orang Indonesia asli. Ramah, membantu sesamanya tanpa pamrih. Sifat yang sudah jarang kutemui. Wajar, kalo dipikir-pikir, karena memang selama ini aku jarang bergaul dengan “masyarakat” yang sebenarnya.

Ketulusan kedua kudapat dari senyum-senyum yang terpancar dari setiap warga yang selesai ku-tensi. Satu hal lebih yang kudapat dari ‘pekerjaan’ ini selain dana adalah aku bisa benar-benar menyentuh lapisan masyarakat yang benar-benar menbutuhkan. Mendengarkan keluhan-keluhan mereka, membagi ilmu yang telah kita dapat sebelumnya, sampai mencoba merasakan bagaimana menjadi mereka. Sekalipun belum bisa memberikan solusi layaknya seorang dokter, setidaknya kita sudah belajar satu hal sebagai bekal menjadi dokter nantinya, yaitu mendengar.

One thought on “Sebuah ketulusan

  1. kehidupan kita di kampus itu tidak sama dengan kehidupan kerja
    pun dengan keseharian di masyarakat.

    #katanya sih begitu#

Leave a reply to almahira Cancel reply