Sandiwara Langit

Begitulah judul yang tertera di cover depannya. Novel ini dibuat berdasarkan kisah nyata yang kembali diceritakan oleh orang lain. Ceritanya bermula dari seorang pemuda berusia 18 tahun yang mendatangi seorang ustadz untuk berkonsultasi tentang keinginannya untuk segera menikah lantaran ketidakmampuannya untuk menahan gejolak syahwatnya. Calon suda ada, namun masalahnya ada pada dirinya yang dinilai masih belum mapan secara finansial untuk berkeluarga. Benar saja, hal inilah yang menjadi ganjalan ketika dia melamar calonnya itu pada keluarganya. Walaupun begitu, pada akhirnya keluarga sang calon menerima lamaran pemuda itu dengan sebuah syarat yang cukup unik, yaitu bahwa jika dalam 10 tahun pernikahannya dia tidak mampu memberi istrinya sebuah kehidupan yang layak, maka ia harus menceraikan istrinya. Dan syarat ini harus diucapkan ketika akad nikah berlangsung.

Dari sinilah cerita sebenarnya dimulai. Di dalam novel ini kita dapat melihat perjuangan sepasang suami istri yang memulai biduk rumah tangga benar-benar dari titik nol. Hanya bermodalkan pemberian dari orangtua si pemuda yang tidak seberapa mereka memulai segalanya. Suka dan duka silih berganti menimpa pasangan ini. Namun, hebatnya, mereka tetap terus memegang teguh prinsip mereka yang selalu didasarkan pada Al-Quraan dan Sunnah. Dalam keseharian mereka, kata-kata yang terucap adalah firman-firman Allah dan sabda Rasul, hal ini dapat dilihat dari banyaknya cuplikan ayat-ayat Al-Quran yang tersebar di novel ini. Begitu seterusnya mereka menjalani kehidupan mereka, saling menyokong satu sama lain, hingga cinta di antara mereka pun tumbuh semakin dalam. Hingga pada akhirnya sebuah keputusan besar harus diambil. Dan cerita ini pun ditutup dengan sebuah ending yang sangat mengharukan.

Novel ini dapat membawa pembacanya ke dalam campuran emosi. Sedih, terharu, bahagia, sampai marah. Bukunya tidak terlalu tebal, hanya sekitar 100 halaman lebih, satu malam saja sudah cukup untuk menamatkan buku ini. Cara penyampaian penulis di dalam buku ini cukup enak, walaupun terasa tidak begitu mengalir kata-katanya. Mungkin karena ini memang buku yang agak serius, jadi kata-katanya terkesan sedikit kaku. Tapi overall, kita bisa mengambil begitu banyak hikmah dari kisah sepasang anak manusia tadi. Tidak akan rugi jika meluangkan waktu kita sebentar untuk membaca dan merenungi isi buku ini.

Jujur, novel ini merubah pandanganku tentang sebuah pernikahan. Ternyata, pernikahan tidak sesimple bayangan kita. Pernikahan bukan hanya tempat untuk saling mencurahkan kasih sayang satu sama lain, mendidik anak-anak, ataupun menghabiskan waktu susah senang bersama.

Bagi seorang suami, pernikahan berarti gerbang awal baginya untuk menjadi seorang pemimpin rumah tangga. Pemimpin, terdengar mudah, padahal esensinya sangat berat. Menjadi pemimpin berarti sudah harus memiliki arah akan dibawa kemana keluarganya nanti. Tentu saja pencapaian tertinggi semua orang adalah memasuki surgaNya yang kekal. Namun, jalan apa yang akan dipilih untuk meraihnya? kendaraan apa yang akan digunakan untuk menuju ke sana? Jika standar seorang pemimpin yang ideal adalah seperti pemuda di dalam novel ini, maka itu berarti standarnya terlalu tinggi dari yang aku bayangkan sebelumnya, dan masalahnya adalah aku pasti tidak bisa mengimbanginya.

Bagi seorang istri, sudah tentu pastinya harus selalu menemani dan mendukung suami kita dalam keadaan apapun. Mungkin sekarang, kita bisa saja berkata bahwa kita akan mampu menemani suami kita dalam keadaan apapun, termasuk keadaan paling sulit sekalipun, tapi pasti dalam prakteknya akan lebih sulit. Seorang istri mempunyai sebuah tugas yang cukup berat bagi dirinya sendiri, yaitu mencari ridho suaminya. Dan untuk mendapatkannya bukankah kita harus terlebih dahulu menjadi seorang istri yang sholihah? Tugas yang berat, tapi untuk mencapainya, bukan sebuah hal yang tidak mungkin.

Team work, sepertinya itu yang dibutuhkan…